Bersepeda malam hari menelusuri
gelapnya malam, dalam hening mencekam dan siluet pepohonan sejauh mata
memandang, diterangi kerlip bintang dan bulan yang malu-malu mengintip dari
balik awan, tak pelak menimbulkan rasa betapa kecilnya mahluk yang bernama
manusia dihadapan ciptaan-NYA yang maha tak berbatas. Boleh jadi sentuhan
langsung dengan alam ini, merupakan
tadabbur dan zikir yang memiliki nilai tersendiri, sebab diluar sana semua
ke-akuan dan kesombongan diri menjadi sama sekali tak bernilai apa-apa.
Berkumpul di koperasi PKT ; BBC,
DK, ICC, dan Bekantan, setelah peregangan dan doa, sekitar jam 23.00 kami mulai
menyusuri jalan. Turunan lembut menyambut disertai riuhnya gonggongan anjing,
tak peduli sepeda laju menyambut dinginnya malam.
Dari RSUD kami kemudian
menyeberang ke jalan Flores, tujuan kami adalah Tanjakan Cinta. Meski bulan tidak mampu menyeruak diantara
awan, dari kejauhan kerlip lampu-lampu kota Bontang terlihat jelas dari atas
puncak Tanjakan Cinta. Seperti biasa narsis dulu diantara bayang pepohonan dan
bukit.
Turunan legendaris Tanjakan Cinta
yang tanpa rambu dalam gelapnya malam, tak mampu ditembus oleh terangnya
senter, derit rem dan teriakan kaget silih berganti bersama tamparan ilalang
kewajah. Kami hanya mampu bersabar dan telaten melaluinya. Sesaat kemudian tanjakan menghadang, suka tidak suka kami harus
bersiteguh mengayuh dan disaat lain melintas pada sebuah turunan, yang meski
tak butuh tenaga untuk melaluinya, dengan drop dan jalur air, tentu harus tetap
waspada agar tak terjerambab.
“Belajar sabar dari yang menyakiti. Belajar adil dari yang mendholimi.
Belajar teguh dari yang ruwet. Belajar merendah dari yang sombong”
Bersama alam, perjalanan ini
mengajarkan banyak hal kepada kami serupa dengan bersepeda, keseimbangan hanya
bisa diperoleh saat hidup terus dijalani, saat sepeda terus dikayuh, sesaat terhenti,
maka akan ketinggalan atau mungkin terjatuh untuk tidak terbangun lagi.
Dari Tanjakan Cinta, kami
menembus jalur pipa ke tugu selamat datang Bontang. Rehat sejenak untuk
kemudian melalui jati-jati menuju tanjakan petai, turun dari bata-bata,
melintas tanjakan menuju peradaban. Jalan Raya PKT menghadang di depan, melaju
kencang menuju ke jalan raya kutai, kami bertemu dengan Pos Jaga PT. Badak, dan
seperti biasa, dengan ramahnya petugas
security PTB mempersilahkan kami lewat.
Disambut sahur dengan konro dan pallumara,
masakan khas Sulawesi, maka perjalanan bersepeda malam hari dibulan puasa ini
menjadi sungguh luar biasa.